Kamis, 29 November 2018
Anak muda yang makin kreatif lewat flash bloging
Hari ini akhir November,,, tapi aku tidak ingin mengakhirinya dengan duduk manis apalagi ditambah dengan bersender...:)
Ditemani secangkir kopi dari panitia Kementrian Kominfo dan Dinas Kominfo Propinsi Sumatra Barat nan baik hati. Aku berkesempatan duduk di Ballroom Anromeda Hotel Mercure Padang saat ini. Staf Ahli Kominfo RI yaitu Bapak Andoko Darta yang bermurah hati menyampaikan materi kepada aku dan juga teman-temandi pagi ini. Sebelum memulai materi kami disenandungi dengan Lagu Daerah Sabang dan Marauke, yang membuat kami makin cinta dengan negeri ini.
"Kadang kita lupa lagu daerah, kadang kita lupa bahwa kita adalah putra-putri dari sebuah negara yang besar," ujar Bapak Andoko menyadarkan kami.
Lalu sebagai anak negeri kami juga diberikan beberapa arti dari Bapak Andoko. Pertama anak muda sebagai seorang kreator, yaitu anak muda yang berani berbuat sesuatu untuk kemajuan. Kedua anak muda yang peduli, yaitu anak muda yang peka dan bisa diandalkan oleh orang di sekitarnya. Ketiga sebagai anak muda yang biasa-biasa saja namun, orang biasa bisa jadi luar biasa jika mau berbuat lebih. Keempat, pahlawan yang bisa mengharumkan nama bangsa dan negeri tercintanya. Kelima cendikiawan, yaitu anak muda yang akan membuat bangsa ini selalu maju dengan inovasi-inovasi dari ilmu yang dimilikinya. Dan eksplorer, anak muda yang hobi berpetualang dan menemukan hal-hal baru sehingga negeri semakin dikenali oleh dunia.
Senin, 16 April 2018
TUGAS
SASTRA BANDINGAN
DISKRIMINASI GENDER DALAM NOVEL MARYAM KARYA OKKY MADASARI DENGAN SALJU KARYA ORHAN PAMUK.
YANDA DEWI KURNIA
15017055
SASTRA INDONESIA
BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
UNIVERSITAS NEGERI PADANG
2018
A.
PENDAHULUAN
Karya sastra adalah sebuah karya yang
indah karena merupakan ungkapan perasaan manusia yang dapat berupa ide,
pengalaman, serta keyakinan oleh pengarang karya yang mengispirasi penikmat
karyanya. Muhardi dan Hasanuddin WS (2006:1) menjelaskan bahwa fiksi merupakan
salah satu genre sastra yang diciptakan dengan mengandalkan pemaparan tentang
seseorang atau suatu peristiwa. Sebagai karya fiksi pemaparan suatu peristiwa
atau seseorang tersebut seolah-olah terjadi ataupun benar-benar ada dan telah
pernah ada. Padahal pemaparan tersebut penah ada, dan ia hanya berada dalam
khayalan, dan pikiran pengarang semata. Bisa dikatakan bahwa sebuah karya
sastra fiksi adalah gambaran-gambaran dari kehidupan nyata yang dinarasikan
kedalam sebuah karya yang diperindah oleh fiksi.
Novel merupakan salah satu dari jenis
karya sastra fiksi. Novel adalah narasi fiksi yang panjang, menceritakan
pengalaman manusia berdasarkan rangkaian alur kehidupannya yang dikarang oleh
pengarangnya. Menurut Rostamaji dan Agus Priantoro, dalam e-jurnal.com mengatakan novel merupakan karya sastra yang mempunyai
dua unsur, yaitu; unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik yang kedua saling
berhubungan karena sangat berpengaruh dalam kehadiran sebuah karya sastra.
Sebuah novel akan menarik perhatian para
pembaca untuk membacanya, jika dalam novel tersebut pengarang memaparkan
konflik-konflik yang menarik minat pembacanya. Selain menarik perhatian pembaca
konflik juga bermanfaat bagi pembacanya, karena di dalam konflik tersebut juga
terdapat pesan-pesan yang disampaikan oleh pengarangnya. Di dalam sebuah novel,
pengarang mengungkapkan berbagai permasalahan tentang sisi kehidupan manusia
dan segala lika-likunya, baik yang berhubungan dengan dirinya sendiri maupun
yang berhubungan dengan lingkungan sekitarnya. Salah satu gambaran dari
kehidupan manusia yang dapat diamati pada diri manusia adalah konflik yang
terjadi pada diri mereka sendiri atau konflik batin.
Salah satu contoh konflik yang selalu
menarik perhatian hingga saat sekarang ini adalah konflik yang dialami oleh
kaum perempuan. Mulai dari persepsi masyarakat terhadap perempuan yang mana
kaum perempuan lebih lemah dan lebih rendah statusnya daipada kaum laki-laki. Merupakan salah satu
contoh diskriminasi gender yang menyebabkan kaum perempuan termarjinalkan, walaupun
tidak semua perempuan termarjinalkan oleh diskriminasi tersebut.
Dalam setiap novel memiliki konfliknya
masing-masing meskipun berbeda antar sesamanya namun juga bisa dilihat beberapa
kesamaannya. Antara lain dalam novel Maryam karya Okky Madasari dengan novel
Salju karya Orhan Pamuk yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh
Berliani M. Nugrahani. Konflik yang terkandung dalam novel tersebut antara lain
yaitu mengenai ketimpangan ras antar agama. Meskipun masih sama-sama berasal
dari satu agama yang sama namun, memiliki sedikit perbedaan sekaligus maka akan
memancing konflik tersebut.
Seperti halnya konflik dalam kedua novel
ini, yaitu antara ketidakadilan yang dialami perempuan berjilbab dan juga
ketidakadilan yang dialami perempuan yang menganut kepercayaan Islam Ahmadi
yang terdapat di novel Maryam dan novel Salju. Di dalam kedua novel ini dapat
kita temui bahwa kesetaraan hak perempuan menjadi konflik atau masalah yang
paling diutamakan oleh kedua pengarang novel.
B.
TEORI
Secara etimologis feminisme berasal dari
kata femme yang berarti perempuan.
Feminisme dalam pengertian yang luas merupakan suatu gerakan kaum wanita untuk
menolak segala sesuatu yang dimarginalisasikan, disubordinisasikan, dan
direndahkan oleh kebudayaan dominan, baik dari segala aspek kehidupannya.
Gerakan feminisme berangkat dari perbedaan gender antara kaum perempuan yang
sering dibedakan dengan kaum laki-laki. Yang mana tujuan dari feminisme sendiri
yaitu untuk kesetaraan dan kesamaan hak serta kewajiban yang diterapkan pada
semua gender yaitu perempuan dan laki-laki.
Ketidakadilan gender merupakan berbagai
tindakan yang bersumber pada keyakinan gender. Antara lain penyebab
diskriminasi itu sendiri adalah keyakinan salah satu gender lebih penting atau
lebih utama dibanding yang lainnya. Kenyataan memperlihatkan bahwamasih ada
yang membatasai ruang gerak kaum perempuan dalam kehidupan.
Salah satu studi sastra yang mempelajari
antar karya yang satu dengan karya yang lain, atau antar bahasa karya sastra
yang satu dengan yang lainnya adalah studi sastra bandingan. Menurut Wellek dan
werren menyebutkan bahwa ada tiga pengertian mengenai sastra bandingan:
pertama, penelitian sastra lisan, terutama tema tema cerita rakyat dan
penyebarannya; kedua, penyelidikannya mengenai hubungan antara dua atau lebih
karya sastra yang menjadi bahan dan objek penyelidikannya, di antara soal
reputasi dan penetrasi, pengaruh, dan kemasyhuran karya besar; dan ketiga,
penelitian sastra dalam keseluruhan sastra dunia, sastra umum, dan sastra
nasional.
C.
DISKRIMINASI
GENDER DALAM NOVEL MARYAM KARYA OKKY
MADASARI DENGAN SALJU KARYA ORHAN
PAMUK.
Di sini penulis mengambil perbandingan
antara novel Maryam karya Okky
Madasari dengan Salju karya Orhan Paruk yang diterjemahkan kedalam bahasa
Indonesia oleh Berliana M. Nugrahani. Okky Madasari merupakan seorang penulis
Indonesia yang dikenal dengan karya-karyanya yang selalu berusaha menyuarakan
kritik sosial dan kekonsistenan pada hal-hal kekinian. Selain itu, Okky
Madasari juga merupakan peraih penghargaan Khatulistiwa Literary Award dalam
tiga tahun berturut-turut yang karyanya selalu masuk lima besar penghargaan
tersebut. Beranjak kepada Orhan Pamuk, yang
telah banyak menulis novel dan dianggap sebagai salah satu suara
tersegar dan paling orisinal dalam menulis fiksi kontemporer. Selain itu, Orhan
Pamuk juga merupakan pemenang peraih Nobel Sastra.
Karya Okky Madasari yang berjudul Maryam ini memiliki kesamaan dengan
novel Salju karya Orhan Pamuk yang
diterjemahkan ke bahasa Indonesia oleh Berliana M. Nugrahani. Persemaan
tersebut antara lain adalah sama-sama
membahas ketimpangan agama yang mana menitikberatkan pada satu aliran agama
yakni Islam. Serta tokoh perempuan yang disorot dalam alur penceritaan kedua
novel ini seperti yang terdapat dalam kutipan berikut:
“Bapaknya pun memberi contoh orang-orang
Ahmadi yang nekat menikah dengan orang yang berbeda dari mereka. Perkawinan
berabtakan. Segala kesengsaraan dan kesusahan muncul. Maryam tahu semuanya itu.
Anak teman ppengajian yang sudah seperti saudara bagi mereka, Rohma, akhirnya
bercerai setelah dua tahun menikah. Awalnya, Rohma hanya dilarang suaminya ikut
salat di masjid keluarga Rohma. Lalu lama-kelamaan larangan itu semakin
menjadi. Rohma tak boleh lagi datang ke rumah orangtuanya, tak diizinkan lagi
bertemu dengan keluarganya. Rohma melawan. Ia memilih perceraian sebagai jalan
keluar.” (Maryam, hal : 19).
“Seluruh siswa penggiat Islamis politis
menonton pertunjukan di Teater Nasional, dan mereka telah ditangkap di tempat
itu, sehingga yang tersisa di asrama hanyalah anak-anak yang kurang peduli atau
tidak memiliki ketertarikan poltik. Tetapi, adegan-adegan yang disiarkan di
televisi membuat semangat mereka pun mengganjal pintu dengan meja-meja dan
meneriakkan slogan-slogan semacam ‘Tuhahhn Mahabesar!’ sambil berkumpul dan
menunggu.” (Salju, hal : 254).
Tokoh yang paling banyak bercerita
maupun diceritakan dari masing-masing novel ini yaitu Maryam dalam novel Marya
karya Okky Madasari. Maryam, digambarkan sebagai sosok wanita yang taat dalam
beribadah namun memiliki ajaran sendiri dengan atau disebut juga Islam
Ahmadiyah. Hal tersebut membuat terjadinya konflik yang memecahkan agama yang
satu tersebut. Sebagai bagian dari kelompok minoritas yang tertindas, di sini
Maryam mencoba untuk memperjuangkan golongannya. Serta dalam novel yang
berjudul Salju karya Orhan Pamuk, memiliki tokoh utama yang bernama Ka. Ka
merupakan seorang jurnalis yang sangat peduli terhadap sebuah kampung yang
bernama Kars, di mana banyak gadis-gadis yang melakukan bunuh diri di kota
tersebut.selain gadis-gadis yang bunuh diri di sini juga diceritakan bagaimana
keadaan perempuan yang nekat memakai jilbab akan mendapatkan perlakuan yang
tidak sewajarnya oleh masyarakat sekitarnya. Hal itu dibuktikan dengan kutipan
berikut.
“Di hari-hari terakhir kehamilannya,
Maryam berkata pada Umar ingin memberi nama yang berasal dari Lombok untuk
anaknya. Bukan nama Arab, seperti ayah dan ibunya. Bagi Maryam, itu langkah
paling awal sekaligus langkah paling mudah dilakukan untuk menjauhkan anaknya
dari segala kepedihan yang dialami keluarganya. ‘Bbiarlah anak ini jauh dari
agama tapi dekat dengan kebaikan,’ kata Maryam berulang kali.” (Maryam, hah
241).
“Saya tertarik untuk meliput pemilihan
di sana juga tentang para wanita yang melakukan bunuh diri.” (Salju, hal : 5).
Antara kedua novel ini yang menjadi
pembedanya yakni latar tempat serta bahasa yang digunakannya oleh penulisnya
yang juga berasal dari negara yang berbeda. Yaitu Okky Madasari yang berasal
dari Indonesia sedangkan Orhan Pamuk berasal dari Turki. Hal tersebut dapat
dilihat dari kutipan berikut ini.
“Ternyata laki-laki itulah yang ia cari.
Ketua organisasi yang sekarang, menggantikan ketua yang diingat Maryam.
Berpakaian rapi, berbicara santun. Ia berpendidikan tinggi. Sarjana Lulusan
Universitas Mataram. Sekarang pegawai negeri di kantor provinsi.” (Maryam, hal
: 66).
“dibesarkan di Istanbul dan dikelilingi
oleh kenyamanan kehidupan kelas menengah Nisantas ayah yang bekerja sebagai
pengacara, ibu yang menjadi ibu rumah tangga, kakak perempuan yang penuh kasih
sayang, seorang pembantu yang berbakti, sebuah radio, kamar-kamar perabot yang
lengkap, jendela-jendela bertirai Ka tidak tahu apa-apa soal kemiskinan,
kemiskinan berada di luar rumahnya, di luar dunianya.” (Salju, hal 23).
Konflik yang dialami oleh perempuan
dalam kedua novel ini yang paling mencolok yaitu, pada novel Maryam karya Okky
Madasari yaitu keditakadilan dalam memilih kepercayaan yang berbeda dengan
orang lain sehingga mengalami pengasingan serta bagaimana kebebasan sangat jauh
daripada perempuan-perempuan di sana seperti jika menikah dengan orang dari
luar organisasi tersebut. Maka perempuan itu mula-mula dilarang pergi ke
mesjid-mesjid organisasi itu sering berkumpul samapai dilarang pergi menemui
orangtua mereka. Selanjutnya, dalam novel Salju karya Orhan Pamuk juga
dipaparkan bagaimanapun majunya sebuah kehidupan di perkotaan namun
pendiskriminasian juga tidak bisa dihindari. Banyaknya organisasi-organisasi
kepercayaan yang saling mengganggap mereka yang paling benar dari organisasi
yang lain hingga menimbulkan peperangan serta bagaimana kebebasan bagi kaum
perempuan yang harus menolak berbagai ideologi yang berujung dengan bunuh diri.
D.
PENUTUP
Kedua novel ini mengangkat tema tentang
konflik sosial yang terjadi di tempatnya masing-masing. Tokoh dalam novel ini
sama-sama perhatian terhadap apa yang terjadi dalam lingkuangan sekitarnya.
Alur, peristiwa dalam novel Maryam karya Okky Madasari ini menggunakan alur
maju. Karena menceritakan keadaan dari masa gadisnya tokoh Maryam hingga ia
akan melahirkan anak yang akan diberi nama seperti orang Lombok kebanyakan dan tidak mengambil nama dari Arab.
Begitupun alur, dalam novel Salju karya
Orhan Pamuk menceritakan alur maju. Meskipun ada beberapa yang di paragraf yang
menceritakan masa kecil Ka, namun itu hanya untuk pelengkap cerita saja. Dalam
kedua novel ini sama-sama mengambil latar di daerah tempat negara mereka
berasal. Serta dalam kedua novel ini, sama-sama membuka kesadaran pembaca
bagaimana cara seharusnya untuk saling menghargai apa itu perbedaan baik dari
perbedaan penampilan hingga perbedaan kepercayaan. Selain hal itu, dalam kedua
novel ini juga digambarkan bagaimana ketidakadilan yang dilakukan terhadap kaum
perempuan, hingga bagaimana kita untuk lebih peka dan merubah diri menjadi
pribadi yang lebih baik lagi untuk ke depannya.
Penulis menyimpulkan bahwa melalui
pemakaian hijab sebagai identitas seorang perempuan muslim, yang seharusnya
bisa lebih menjaga perempuan dari kejahatan tidak berlaku di semua negara
seperti yang terdapat dalam novel Salju
karya Orhan Pamuk. Begitupun sebagai seorang anak perempuan yang jika sudah
bersuami harus dihadapkan pada dilema mengikuti perkataan orangtua atau menaati
perkataan suami.
Daftar Pustaka
Muhardi dan Hasanuddin WS. 2006. Prosedur Analisis Fiksi: Kajian Strukturalisme. Padang: Citra
Budaya.
Pamuk, Orhan. 2015. Salju.
Jakarta: Serambi ilmu semesta.
Madasari, Okky. 2013. Maryam.
Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Selasa, 27 Februari 2018
TUGAS
MATA
KULIAH SASTRA BANDINGAN
TENTANG
LAPORAN
BACAAN (BOOK REPORT)
BUKU
PEGANGAN
PENELITIAN SASTRA BANDINGAN
YANG
DITULIS OLEH SAPARDI DJOKO DAMONO
OLEH:
Nama:
YANDA
DEWI KURNIA
NIM:
15017055
SASTRA
INDONESIA
JURUSAN
BAHASA DAN SASTRA INDONESIA DAN DAERAH
FAKULTAS
BAHASA DAN SENI
UNIVERSITAS
NEGERI PADANG
2018
KATA PENGANTAR
Puji
syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmatNYA sehingga laporan
bacaan ini dapat selesai. Terima kasih kepada Ibu Yenni hayati, SS. M.Hum.
selaku dosen pengampu Mata Kuliah Sastra Bandingan yang memberikan dorongan
serta motivasi kepada penulis.
Penulis
menyadari bahwa laporan bacaan ini belumlah sempurna. Oleh karena itu, saran
dan kritik yang membangun dari rekan-rekan sangat penulis butuhkan guna
penyempurnaan laporan bacaan ini.
Padang, Februari 2018.
Yanda Dewi Kurnia
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Identitas Buku yang Dilaporkan
1. Judul
Buku: Pegangan Penelitian Sastra Bandingan
2. Pengarang: Sapardi Djoko Damono
3. Penerbit:
Departemen Pendidikan Nasional Pusat Bahasa
4. Tahun
Terbit: 2005
5. Cetakan:
6. Kota
Penerbit: Jakarta
7. Garis
Besar Buku: Dalam buku Pegangan Penelitian
Sastra Bandingan yang dikarang oleh Sapardi Djoko Damono.
Ada 12 Bab yang dibahas, bab 1 mengenai pendahuluan atau perkenalan buku ini bagi para
pembacanya. Bab 2 membahas beberapa pengertian dasar yang mana nantinya akan
dibahas dalam buku ini. Bab 3 membahasas mengenai perkembangan sastra bandingan
yang sudah dikenal luas oleh banyak negara saat ini. Bab 4 membahas mengenai
sebuah sastra dikatakan asli, pinjaman dan tradisi. Bab 5 membicarakan mengenai
sastra yang dialih bahasakan dari satu negara ke bahasa negara lainnya. Bab 6
mengenai perkembangan sastra bandingan di Nusantara sendiri. Bab 7 kita mempelajari
mengenai dongeng yaitu membandingkan dongen suatu negara dengan dongeng dari
negara lainnya. Bab 8 membahasas tentang karya sastra dalam bandingan Tagore,
yang mana banyak dari pengarang menirukan gayanya dalam mengarang. Bab 9
membahas mengenai jejak romantisme dalam sastra Indonesia. bab 10 membahas
gatoloco, kasus peminjaman dan pemanfaatan. Bab 11 membahas alih wahana. Bab 12
membahas tentang langkah-langkah dalam melaksanakan pendekatan sastra
bandingan.
8. Tebal
buku: 121 halaman
9.
Gambar Sampul Buku yang
Dilaporkan:
B.
Gambar Buku
BUKU ASLI BUKU FOTO KOPI
BAB II
BAGIAN BUKU YANG DILAPORKAN
A.
BAGIAN
ISI
BUKU
1.
Pendahuluan
Pada
bagian Pendahuluan ini, pengarang memaparkan bahwa buku ini merupakan sumber
pegangan bagi para peneliti untuk melakukan penelitian dengan menggunakan
pendekatan sastra bandingan. Kita tidak akan bisa menyatakan apa pun mengenai
nilai atau tinggi sesuatu tanpa menaruhnya dalam perbandingannya dengan benda
lain. Fungsi, jenis, amanat sastra, misalnya, hanya bisa kita pahami lebih baik
lagi jika kita jajarkan dengan hal lain.
Dalam buku ini yang dimaksudkan dengan sastra bukanlah
hanya yang tertulis, tetapi juga yang lisan meskipun pengertian “sastra lisan” perlu ditanyakan ketepatannya,
mengingat bahwa yang lisan itu tidak mengenal “sastra” jika kata itu dikaitkan
dengan aksara. Karena setiap kebudayaan menghasilkan karya sastra, maka
pendekatan akan sangat bermanfaat tidak hanya untuk memahami sastra tetapi juga
untuk mengapresiasi kebudayaan yang telah menghasilkannya.
2.
Beberapa Pengertia Dasar
Pada
bab ini, Sapardi menjelaskan beberapa pengertian dasar tentang sastra
bandingan. Sastra bandingan adalah pendekatan dalam ilmu sastra yang tidak
menghasilkan teori tersendiri. Perbandingan sebenarnya merupakan salah satu
metode yang dilaksanakan dalam penelitian. Sedangkan menurut Remak, sastra
bandingan adalah kajian sastra di luar batas-batas sebuah negara dan kajian
hubungan di antara sastra dengan bidang ilmu, serta kepercayaan yang lain,
seperti seni musik, sains sosial, dan bidang ilmu lainnya. Dalam pendapat Remak
ini jelas ada dua kecenderungan dalam sastra bandingan. Yang pertama yaitu
sastra harus dibandingan dengan sastra. Dan yang kedua yaitu sastra bisa
dibandingkan dengan bidang ilmu lain. Berbeda dengan pendapat Nada, sastra
bandingan adalah suatu studi atau kajian sastra suatu bangsa yang mempunyai
kaitan kesejahteraan dengan sastra bangsa lain. Jadi menurut Nada membandingkan
dua sastra dari dua negeri yang berbeda meskipun keduanya menggunakan bahasa
yang sama, karena bahasa yang sama itu justru menujukkan adanya hubungan
kesejahteraan.
Clesments
mengutip beberapa definisi yang disampaikan para pakar dalam pengantarnya
tentang sastra bandingan, sehingga ditentukannyalah lima pendekatan yang bisa
digunakan dalam penelitian, yatu tema/mitos, genre/bentuk, gerakan/zaman,
hubungan-hubungan antara sastra dan bidang seni dan disiplin ilmu lain, serta
perlibatan sastra sebagai bahasn bagi perkembangan teori yang terus-menerus
bergulir.
Berbeda
dengan Clements, Jost membagi-bagi pendekatan dalam sastra bandingan menjadi
empat bidang, yakni pengaruh dan analogi, gerakan dan kecenderungan, genre dan
bentuk, serta motif, tipe, dan tema. Secara umum dikatakannya bahwa suatu studi
mengenai pengaruh dan analogi memusatkan perhatian pada interaksi dan kemiripan
antara beberapa sastra, karya, dan pengarang sastra nasional atau seputar
fungsi sejumlah tokoh penting yang menjadi perantara dalam penyebaran doktrin
atau teknik sastra. Menurutnya, kemiripan antara karya sastra dan bidang seni
lain bisa disebut sastra bandingan.
3.
Perkembangan Sastra Bandingan
Pada
bab ini, penulis membahas tentang perkembangan sastra bandingan. Sastra bandingan
telah dikenal luas dikenal luas di dunia akademil kita, dan selama ini
pendekatan ini sebenarnya telah dilaksanakanmeskipun sering tanpa pemahaman
mengenai konsep-konsep dasarnya.
Bahasa-bahasa
di Eropa yang beberapa di antaranya mirip satu sama lain itu menghasilkan
kesusastraan yang berbeda-beda, yang dengan bebas bergerak dari satu kebudayaan
ke kebudayaan lain.
Pada
abad ke-19 dan ke-20, kegiatan akademik yang boleh dikatakan tidak dikenal
sebelumnya, yaitu sastra bandingan telah ditumbuhkan dan memiliki prosedur
serta kondisi tersendiri.
4.
Asli, Pinjaman, dan Tradisi
Pada bab ini, Sapardi
Djoko Damono membahas tentang bagaimana perkembangan sastra pada masa lampau hingga
sekarang. Sapardi menjelaskan bahwa perkembangan sastra dipengaruhi oleh
teknologi yang canggih. Oleh sebab perkembangan teknologi yang canggih, jarang
lagi kita berhubungan langsung dengan benda budaya yang sepenuhnya asli. Contohnya yaitu, jika dulu benda budaya bisa
mencapai tempat lain dalam waktu yang lama, sekarang dapat diterima dalam waktu
yang sama pada saat pengiriman. Ketika kelompok musik sedang manggung di suatu
tempat, ketika itu juga seseorang yang memiliki TV kabel bisa melihatnya di
tempatnya berada. Kebudayaan lisan dan visual yang berupa suara atau gambar,
secepat kilat menyusup ke kamar kita. Dan yang terjadi kemudian adalah
serentetan peniruan oleh kelompok-kelonpok musik lokal.
Hal yang sama terjadi
juga pada karya sastra. Jika pada masa lampau Mahabrata yang lahir di India
baru bisa mencapai Jawa setelah ratusan tahun lamanya, tetapi sekarang novel
Bharati Mukherjee dalam waktu beberapa hari saja muncul bersamaaan di toko-toko
buku di seluruh dunia. Kemudian terjemahannya menyusul, memberi inspirasi
kepada sastrawan agar melakukan inovasi tematik maupun stilistik. Kecenderungan
ini tentu saja bukan hanya menjadi milik zaman kini, tetapi telah terjadi sejak
manusia mengadakan kontak satu sama lain secara lisan maupun tertulis, dan
sekarang kita melakukannya melalui media elektronik.
Peminjaman yang
dimaksud Sapardi pada bab ini seperti contoh karya Shakespeare. Karya ini
dibaca Jepang dan diciptakan kembali oleh seniman Jepang. Setelah diteliti,
ternyata drama Shakespeare diambil dari khasanah sastra lain, dan sumber itupun
ternyata pinjaman dari sastra lain pula. Contoh lainnya yaitu puisi haiku.
Puisi haiku dipinjam oleh penyair-penyair.
Hal
lain yang dibicarakan pada sub bab ini yaitu, bahwa tanpa meminjampun, sebuah
karya bisa mirip dengan yang telah dihasilkan orang lain di tempat dan waktu
yang lain pula. Hal ini biasanya dipengaruhi oleh situasi geografis. Kemiripan
juga bisa terjadi sebagai akibat dari perkembangan masyarakat dan peristiwa
besar seperti perang. Selain itu, kemiripan juga bisa disebabkan oleh kesamaan
otak kita dalam merespon pengalaman yang jenisnya sama.
Nasib
karya sastra di negeri lain juga merupakan pokok penelitian sastra bandingan.
Karya yang di negeri asalnya tidak begitu penting, di negeri lain mungkin saja
menimbulkan pengaruh yang melahirkan karya sastra besar.
5.
Terjemahan
Pada
bab ini dibahas tentang terjemahan pada karya sastra. Ketika pada masa lampau
meminjam dan kemudian mengembangkan aksara dari bangsa lain, langkah pertama
yang dilakukan untuk mempraktekkan hasil pinjaman itu adalah menerjemahkan dari
bahasa yang aksaranya kita pinjam. Demikianlah maka di Indonesia sastra tulis
berkembang sejalan dengan aksara yang dipergunakannya.
Di
awal abad ke-20 sejumlah karya sastra dari Eropa diterjemahkan ke dalam bahasa
Melayu dan beberapa bahasa daerah oleh penerbit pemerintah waktu itu, Balai
Pustaka, dan beberapa penerbit swasta.
Dalam
perkembangan itu tampak bahwa yang diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu waktu
itu bukan hanya yang berasal dari Barta, tetapi juga dari mana saja, tergantung
siapa yang melaksanakan kegiatan terjemahan itu.
Suatu
jenis cerita rekaan yang kemudian berkembang sampai hari ini di Indonesia
adalah cerita silat. Menurut Leo Suryadinata, pada mulanya cerita silat
merupakan terjemahan novel sejarah Tiongkok. Kemudian, setelah banyak cerita
silat bermunculan di koran-koran di Cina, penerjemahan dialihkan ke cerita
silat itu. Perkembangan cerita silat di Indonesia erat kaitannya dengan
penerbitan koran masyarakat keturunan Cina, bahkan pasa tahun 1930-an koran
yang secara khusus memuat cerita silat terbit bulanan secara teratur.
Chairil
Anwar adalah tokoh yang unik dalam sejarah sastra kita, ia dianggap pelopor
suatu pembaruan sastra sekaligus dituduh penyair yang suka mencuri karya
penyair asing. Salah satu sajak yang diterjemahkan Chairil Anwar adalah John
Cornford, “Poem” yang dalam terjemahannya diberi judul “Huesca”.
Terjemahan
sebenarnya merupakan tafsir bangsa tertentu di suatu zaman tertentu terhadap
karya sastra milik bangsa lain di zaman lain pula. “Krawan Bekasi” boleh
dianggap sebagai tafsir bangsa Indonesia zaman perjuangan fisik terhadap sajak
MacLeish tentang perang dunia II. Jadi, dengan mengubah dirinya, karya sastra
bisa menembus ruang dan waktu.
Terjemahan
menyebabkan karya sastra bertahan hidup, karena diterjemahkan, karya sastra
mengalami second existence,
keberadaan atau kehidupan kedua (Gifford). Kegiatan penerjemahan sastra modern
sudah dimulai sejak sebelum perang dunia II, terutama oleh Balai Pustaka, namun
sebagian besar karya yang diterjemahkan boleh digolongkan ke dalam sastra
populer atau anak-anak.
6.
Sastra Bandingan Nusantara
Pada
bab ini, Sapardi membahas tentang sastra bandingan Nusantara. Ia mengatakan,
Indonesia adalah salah satu negeri yang sangat kaya sebagai sumber penelitian
sastra bandingan. Sastra sebagai bagian dari kebudayaan, ditentukan antara lain
oleh geografi dan sumber daya alam. Berbagai dongeng yang diciptakan nenek
moyang kita perlu dibanding-bandingkan agar kita bisa mendapat gambaran yang
jelas tentang persamaan dan perbedaan di antara kita.
Legenda
yang diciptakan oleh masyarakat Sangihe, yang berbasis kehidupan laut, tentu
berbeda dengan dongeng yang muncul dalam kebudayaan Bali, yang tumbuh dalam
kebudayaan agraris. Perbedaan semacam itu tetap ada di dalam sastra yang
ditulis dalam bahasa Indonesia oleh sastrawan-sastrawan yang berasal dari
berbagai daerah yang ciri-ciri geografisnya berbeda.
Dalam
sastra bandingan, mantra merupakan sumber penelitian yang sangat subur, sebab
genre itu kedapatan di manapun dan kapanpun, tidak hanya di Indonesia dan tidak
hanya dalam tradisi lisan.
7.
Membandingkan Dongeng
Pada
bab ini, Sapardi mengajak kita untuk membandingkan dongeng sebagai salah satu
kajian sastra bandingan. Dalam sastra bandingan, salah satu kegiatan yang sudah
banyak dilakukan adalah membandingkan dongeng yang mirip dari berbagai negara,
tidak terutama untuk mengungkapkan yang asli dan pengaruhnya terhadap yang
lain, tetapi lebih untuk mengetahui kaitan-kaitan antara perbedaan dan
persamaan yang ada dan watak suatu masyarakat. Dongeng mencakup segala jenis
kisah yang dalam pengertian Barat dipilah-pilah menjadi mitos, legenda, dan
fabel.
Contohnya
bisa dilihat pada legenda Sangkuriang,
Oedipus, dan Babad Tanah Jawi. Tokoh
utama pada kedua cerita ini adalah seorang lelaki yang membunuh ayahnya dan
mengawini ibunya. Ini tampak dalam cerita Sangkuriang dan Oedipus, tetapi tidak
tampak dalam Babad Tanah Jawi yang
mengisahkan Prabu Watugunung. Dalam babad Jawa tidak ada indikasi siapa ayah
Watugunung, meskipun dijelaskan bahwa permaisurinya adalah ibunya sendiri.
identitas itu diketahui ibunya, tetapi tidak diketahui tokoh utama. Suatu hal
yang sama dalam Sangkuriang tetapi tidak kedapatan dalam cerita Oedipus.
Kemudian, status sosial tokoh-tokoh berbeda satu sama lain. Oedipus adalah
putra raja yang kemudian jadi raja, sama halnya dengan Watugunung, tetapi tidak
pada Sangkuriang. Sangkuriang bukanlah keturunan raja dan menjadi raja, bahkan
ayahnya oun digambarkan sebagai seekor anjing. Akhir yang menimpa tokoh-tokoh
dalam ketiga kisah itupun tidak sama. Watugunung akhirnya dikalahkan dan
meninggal di tangan dewa, meskipun hidup kembali berkat usaha istrinya. Latar kisah-kisah
itupun menunjukkan perbedaan yang jelas. Di Yunani klasik tokoh-tokohya tinggal
di keraton manusia, di Jawa mereka tinggal di bumi sekaligus Suralaya,
sedangkan di Sunda, Sangkuriang dan Dayang Sumbi lebih banyak tinggal di hutan,
meskipun sebenarnya ada hubungan mereka dengan istana.
Dengan
menggunakan pendekatan ini kita bisa memuat daftar perbedaan dan persamaan yang
berkaitan dengan unsur-unsur formal kisah-kisah itu, yang kemudian bisa saja
ditafsirkan secara obyektif atau dikaitkan dengan berbagai faktor sosial,
politik, dan budaya yang mendasari penciptanya.
8.
Dalam Bayangan Tagore
Pada
bab ini akan dijelaskan tentang bagaimana pandangan Tagore tentang sastra
bandingan. Rabindranath Tagore adalah satrawan Asia pertama yang menerima
hadiah Nobel untuk bidang kesusastraan pada tahun 1913, setahun setelah versi
Inggris sajaknya yang berjudul Gitanjali diterbitkan.
Penyair Benggali itu dikenal luas di kalangan sastrawan dan kaum intelektual
kita segera sesudah ia menerima hadiah kesusastraan itu, puisinya itu
diterjemahkan ke dalam sejumlah bahasa asing. Dalam banyak hal, ia menjadi
panutan bagi sebagian penyair muda yang berkumpul di majalah Pujangga Baru pada
tahun 1930-an.
Puisi
Tagore adalah salah satu karya sastra yang telah membentuk minat banyak penyair
muda terhadap kesusastraan. Konon, salah satu ciri keunggulan karya sastra
adalah kemampuannya menerobos pembatas zaman, karya yang baik akan dihargai
atau dihayati dari zaman ke zaman, di negerinya sendiri maupun di negeri asing.
Puncak
minat terhadap gaya penulisan Tagore di Indonesia terjadi pada tahun1930-an dan
1940-an. Tagore telah menghasilkan lebih dari seribu sajak, hampir dua lusin
naskah lakon, delapan novel, lebih dari delapan kumpulan cerpen, lebih dari dua
ribu lagu yang lirik dan musiknya dia tulis sendiri, serta sejumlah besar
karangan yang topiknya meliputi berbagai bidang. Belum lagi rangkaian acara
ceramahnya di berbagai negeri di Asia, Eropa, dan Amerika. Itu semua masih
harus ditambah dengan jadwal kegiatannya sebagai pendidik, pembaharu sosial dan
agama, serta politisi. Itu semua dikerjakannya selama lebih darii 60 tahun.
Yang
mempesona dari puisi Tagore adalah adanya taksaan atau ketegangan yang muncul
karena kita bisa menafsirkan hubungan-hubungan yang diungkapkan puisi itu, baik
antara Tuhan dan manusia, ataupun antara manusia dengan manusia.
Jejak
teknik penulisan Tagore tampak dalam beberapa saja Takdir Alisjahbana, seorang
budayawan dan sastrawan yang tak henti-hentinya menyuarakan niatnya untuk
merayakan kebudayaan baru dengan lantang menyingkirkan segala sesuatu yang
dianggapnya lama.
Dari penggambaran ringkas itu, maka kita tahu
bahwa studi mengenai seorang tokoh dengan menggunakan pendekatan sastra
bandingan bisa menghasilkan berbagai jenis tinjauan mengenai jejak, kritik,
penerimaan, dan masalah penerjemahan karya-karyanya.
9.
Jejak Romantisme dalam Sastra Indonesia
Pada
bab ini, Sapardi menjelaskan bahwa gerakan romantik di Barat merambat dari satu
negeri ke negeri lain, dan mendukung beberapa ciri, antara lain yang penting
adalah penekanan pada pembebasan individu dari sikap sosial dan politik yang
konvensional dan mengekang.
Rasa,
seperti yang diagung-agungkan oleh para penyair kita pada tahun 1930-an adalah
nilai penting juga dalam gerakan romantik di Eropa. Seiring dengan rasa, muncul
kualitas lain, yakni sentimentalitas atau perhatian terhadap perasaan kecil
yang bisa ditafsirkan sebagai kecengengan.
Seperti
halnya romantisme Eropa, para penyair tahun 1930-1n di Indonesia memberikan
perhatian besar terhadap golongan miskin yang menderita sebagai akibat situasi
ekonomi yang merosot, yang dikenal sebagai malaise.
Dengan
memperhatikan dan menguraikan perbedaan dan persamaan antara kecenderungan yang
ada pada kesusastraan kita dan perkembangan dalam kesusastraan Eropa abad ke-17
dan ke-18 kita bisa mendapatkan gambaran dan pemahaman yang lebih jelas
mengenai kebudayaan.
10.
Gatoloco: Kasus Peminjaman dan Pemanfaatan
Pada
bab ini, Sapardi mengatakan bahwa dalam kesusastraan modern, ada kecenderungan
untuk meminjam dan memanfaatkan segala sesuatu yang bersumber pada kasanah
tradisi dan kitab klasik yang kuat.
Oleh
sejumlah pengamat, kitab Gatoloco ini dianggap sebagai diskusi antara Islam dan
kepercayaan Jawa. Itu sebabnya diklasifikasikan sebagai suluk. Yang menjadi
pokok pembicaraan pada dasarnya adalah manunggalnya kawula dan Gusti, manusia
dan Sang Pencipta, yang dalam kitab ini digambarkan sebagai masuknya lingga ke
dalam yoni. Proses manunggal itu, meskipun menyakitkan, tetap dilakukan, sebab
merupakan hakikat hubungan antara keduanya.
11.
Alih Wahana
Pada
bab ini, Sapardi membahas tentang ahli wahana. Sapardi mengatakan bahwa, ahli
wahana adalah perubahan dari satu jenis kesenian ke jenis kesenian lain. Selain
dialihbahasakan dari bahasa asing ke bahasa Indonesia, karya sastra juga
dialihwahanakan dari kesenian satu ke kesenian lain. Kegiatan di bidang
penelitian ini akan menyadarkan kita bahwa sastra dapat bergerak ke sana- ke
mari, berubah-ubah unsurnya agar bisa sesuai dengan wahananya yang baru.
Perbedaan
yang sangat mendasar antara karya sastra dan film adalah dalam hal pengembangan
imajinasi pembaca dan penonton. Karya sastra juga bisa diubah menjadi nyanyian
dan lukisan, atau sebaliknya. Di Indonesia kita kenal istilah musikalisasi
puisi, yakni usaha untuk mengubah puisi menjadi musik.
Sastra
bandingan juga bisa meneliti hubungan antara anasir bunyi dan lagu. Kekayaan
bunyi dalam puisi bisa dianalisis berdasarkan knsep-konsep yang ada dalam
bidang seni musik, agar hubungan antara makna dan anasir bunyi dalam karya
sastra bisa lebih dipahami.
Dalam
sastra bandingan ada suatu prinsip penting yang menyatakan bahwa karya sastra
yang sudah diterjemahkan atau disadur berubah statusnya menjadi bagian tak
terpisahkan dari sastra bahasa sasaran dan bukan lagi menjadi milik sastra
bahasa sumber.
12.
Penutup
Pada
bagian ini, Sapardi menjelaskan tentang langkah-langkah apa saja yang sebaiknya
diambil dalam melaksanakan pendekatan sastra bandingan. Sesuai dengan pendapat
Clements tadi, bahwa ada 5 pendekatan yang bisa digunakan dalam penelitian
sastra banding. Langkah pertama yaitu kita harus menentukan tema/mitos, kedua
menentukan genre/ bentuk penceritaan, ketiga
yaitu gerakan zaman yang terdapat dalam cerita, kemudian kita harus paham bahwa
sastra mempunyai hubungan dengan bidang seni dan disiplin lain. Dan yang
terakhir yaitu, kita juga harus memahami konsep bahwa sastra sebagai bahan
pengembangan teori.
BAB III
PENUTUP
A.
Simpulan
Dengan
membaca buku ini, saya jadi tahu bahwa sastra bandingan adalah pendekatan dalam
ilmu sastra yang tidak menghasilkan teori tersendiri. Perbandingan sebenarnya
merupakan salah satu metode yang dilaksanakan dalam penelitian. Dalam
melaksanakan penelitian dengan pendekata sastra bandingan, kita harus
membandingkan antara karya sastra yang satu dengan karya sastra yang lain, baik
dari segi persamaan dan perbedaannya. Dalam membandingkan, langkah-langkah atau
hal-hal yang sangat diperlukan yaitu kita harus menentukan tema/ mitos dalam
cerita, harus menentukan genre/ bentuk penceritaan, harus tahu gerakan dan
zaman yang terkandung dalam cerita, menentukan hubungan karya sastra dengan
disiplin ilmu lain, dan paham konsep tentang pelibatan sastra dalam
perkembangannya menjadi teori.
B.
Manfaat
Pembaca jadi
mengetahui apa itu sastra bandingan, konsep dasar tentang sastra bandingan, apa
saja yang mendasari pendekatan sastra bandingan, dan hal-hal atau
langkah-langkah apa saja yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan penelitian
dengan pendekatan sastra bandingan.
C.
Kritik
Buku ini sangat
bagus untuk dibaca karena dapat menambah pengetahuan mengenai sastra bandingan.
Dalam buku ini sudah dibahas dengan rinci dan jelas apa saja aspek-aspek yang
diperlukan dalam penelitian sastra bandingan.
Daftar Isi
Damono, Sapardi Djoko. 2005.Pegangan Penelitian Sastra Bandingan. Jakarta:
Pusat Bahasa.
Langganan:
Postingan (Atom)