Selasa, 27 Februari 2018




TUGAS
MATA KULIAH SASTRA BANDINGAN
TENTANG
LAPORAN BACAAN (BOOK REPORT)

BUKU
PEGANGAN PENELITIAN SASTRA BANDINGAN
YANG DITULIS OLEH SAPARDI DJOKO DAMONO





OLEH:
Nama: YANDA DEWI KURNIA
NIM: 15017055





SASTRA INDONESIA
JURUSAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA DAN DAERAH
FAKULTAS BAHASA DAN SENI
UNIVERSITAS NEGERI PADANG
2018



KATA PENGANTAR


Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmatNYA sehingga laporan bacaan ini dapat selesai. Terima kasih kepada Ibu Yenni hayati, SS. M.Hum. selaku dosen pengampu Mata Kuliah Sastra Bandingan yang memberikan dorongan serta motivasi kepada penulis.
Penulis menyadari bahwa laporan bacaan ini belumlah sempurna. Oleh karena itu, saran dan kritik yang membangun dari rekan-rekan sangat penulis butuhkan guna penyempurnaan laporan bacaan ini.









Padang, Februari 2018.



Yanda Dewi Kurnia






















BAB I
PENDAHULUAN
A. Identitas Buku yang Dilaporkan
1.      Judul Buku: Pegangan Penelitian Sastra Bandingan
2.      Pengarang: Sapardi Djoko Damono
3.      Penerbit: Departemen Pendidikan Nasional Pusat Bahasa
4.      Tahun Terbit: 2005
5.      Cetakan:
6.      Kota Penerbit: Jakarta
7.      Garis Besar Buku: Dalam buku Pegangan Penelitian Sastra Bandingan yang dikarang oleh Sapardi Djoko Damono. Ada 12 Bab yang dibahas, bab 1 mengenai pendahuluan atau perkenalan buku ini bagi para pembacanya. Bab 2 membahas beberapa pengertian dasar yang mana nantinya akan dibahas dalam buku ini. Bab 3 membahasas mengenai perkembangan sastra bandingan yang sudah dikenal luas oleh banyak negara saat ini. Bab 4 membahas mengenai sebuah sastra dikatakan asli, pinjaman dan tradisi. Bab 5 membicarakan mengenai sastra yang dialih bahasakan dari satu negara ke bahasa negara lainnya. Bab 6 mengenai perkembangan sastra bandingan di Nusantara sendiri. Bab 7 kita mempelajari mengenai dongeng yaitu membandingkan dongen suatu negara dengan dongeng dari negara lainnya. Bab 8 membahasas tentang karya sastra dalam bandingan Tagore, yang mana banyak dari pengarang menirukan gayanya dalam mengarang. Bab 9 membahas mengenai jejak romantisme dalam sastra Indonesia. bab 10 membahas gatoloco, kasus peminjaman dan pemanfaatan. Bab 11 membahas alih wahana. Bab 12 membahas tentang langkah-langkah dalam melaksanakan pendekatan sastra bandingan.
8.      Tebal buku: 121 halaman
9.      Gambar Sampul Buku yang Dilaporkan:

B. Gambar Buku





                    BUKU ASLI                   BUKU FOTO KOPI 



BAB II
BAGIAN BUKU YANG DILAPORKAN
A.    BAGIAN ISI BUKU
1.      Pendahuluan
Pada bagian Pendahuluan ini, pengarang memaparkan bahwa buku ini merupakan sumber pegangan bagi para peneliti untuk melakukan penelitian dengan menggunakan pendekatan sastra bandingan. Kita tidak akan bisa menyatakan apa pun mengenai nilai atau tinggi sesuatu tanpa menaruhnya dalam perbandingannya dengan benda lain. Fungsi, jenis, amanat sastra, misalnya, hanya bisa kita pahami lebih baik lagi jika kita jajarkan dengan hal lain.
Dalam buku ini yang dimaksudkan dengan sastra bukanlah hanya yang tertulis, tetapi juga yang lisan meskipun  pengertian “sastra lisan” perlu ditanyakan ketepatannya, mengingat bahwa yang lisan itu tidak mengenal “sastra” jika kata itu dikaitkan dengan aksara. Karena setiap kebudayaan menghasilkan karya sastra, maka pendekatan akan sangat bermanfaat tidak hanya untuk memahami sastra tetapi juga untuk mengapresiasi kebudayaan yang telah menghasilkannya.
2.      Beberapa Pengertia Dasar
Pada bab ini, Sapardi menjelaskan beberapa pengertian dasar tentang sastra bandingan. Sastra bandingan adalah pendekatan dalam ilmu sastra yang tidak menghasilkan teori tersendiri. Perbandingan sebenarnya merupakan salah satu metode yang dilaksanakan dalam penelitian. Sedangkan menurut Remak, sastra bandingan adalah kajian sastra di luar batas-batas sebuah negara dan kajian hubungan di antara sastra dengan bidang ilmu, serta kepercayaan yang lain, seperti seni musik, sains sosial, dan bidang ilmu lainnya. Dalam pendapat Remak ini jelas ada dua kecenderungan dalam sastra bandingan. Yang pertama yaitu sastra harus dibandingan dengan sastra. Dan yang kedua yaitu sastra bisa dibandingkan dengan bidang ilmu lain. Berbeda dengan pendapat Nada, sastra bandingan adalah suatu studi atau kajian sastra suatu bangsa yang mempunyai kaitan kesejahteraan dengan sastra bangsa lain. Jadi menurut Nada membandingkan dua sastra dari dua negeri yang berbeda meskipun keduanya menggunakan bahasa yang sama, karena bahasa yang sama itu justru menujukkan adanya hubungan kesejahteraan.
Clesments mengutip beberapa definisi yang disampaikan para pakar dalam pengantarnya tentang sastra bandingan, sehingga ditentukannyalah lima pendekatan yang bisa digunakan dalam penelitian, yatu tema/mitos, genre/bentuk, gerakan/zaman, hubungan-hubungan antara sastra dan bidang seni dan disiplin ilmu lain, serta perlibatan sastra sebagai bahasn bagi perkembangan teori yang terus-menerus bergulir.
Berbeda dengan Clements, Jost membagi-bagi pendekatan dalam sastra bandingan menjadi empat bidang, yakni pengaruh dan analogi, gerakan dan kecenderungan, genre dan bentuk, serta motif, tipe, dan tema. Secara umum dikatakannya bahwa suatu studi mengenai pengaruh dan analogi memusatkan perhatian pada interaksi dan kemiripan antara beberapa sastra, karya, dan pengarang sastra nasional atau seputar fungsi sejumlah tokoh penting yang menjadi perantara dalam penyebaran doktrin atau teknik sastra. Menurutnya, kemiripan antara karya sastra dan bidang seni lain bisa disebut sastra bandingan.

3.      Perkembangan Sastra Bandingan
Pada bab ini, penulis membahas tentang perkembangan sastra bandingan. Sastra bandingan telah dikenal luas dikenal luas di dunia akademil kita, dan selama ini pendekatan ini sebenarnya telah dilaksanakanmeskipun sering tanpa pemahaman mengenai konsep-konsep dasarnya.
Bahasa-bahasa di Eropa yang beberapa di antaranya mirip satu sama lain itu menghasilkan kesusastraan yang berbeda-beda, yang dengan bebas bergerak dari satu kebudayaan ke kebudayaan lain.
Pada abad ke-19 dan ke-20, kegiatan akademik yang boleh dikatakan tidak dikenal sebelumnya, yaitu sastra bandingan telah ditumbuhkan dan memiliki prosedur serta kondisi tersendiri.
 
4.      Asli, Pinjaman, dan Tradisi
Pada bab ini, Sapardi Djoko Damono membahas tentang bagaimana perkembangan sastra pada masa lampau hingga sekarang. Sapardi menjelaskan bahwa perkembangan sastra dipengaruhi oleh teknologi yang canggih. Oleh sebab perkembangan teknologi yang canggih, jarang lagi kita berhubungan langsung dengan benda budaya yang sepenuhnya asli.  Contohnya yaitu, jika dulu benda budaya bisa mencapai tempat lain dalam waktu yang lama, sekarang dapat diterima dalam waktu yang sama pada saat pengiriman. Ketika kelompok musik sedang manggung di suatu tempat, ketika itu juga seseorang yang memiliki TV kabel bisa melihatnya di tempatnya berada. Kebudayaan lisan dan visual yang berupa suara atau gambar, secepat kilat menyusup ke kamar kita. Dan yang terjadi kemudian adalah serentetan peniruan oleh kelompok-kelonpok musik lokal.
Hal yang sama terjadi juga pada karya sastra. Jika pada masa lampau Mahabrata yang lahir di India baru bisa mencapai Jawa setelah ratusan tahun lamanya, tetapi sekarang novel Bharati Mukherjee dalam waktu beberapa hari saja muncul bersamaaan di toko-toko buku di seluruh dunia. Kemudian terjemahannya menyusul, memberi inspirasi kepada sastrawan agar melakukan inovasi tematik maupun stilistik. Kecenderungan ini tentu saja bukan hanya menjadi milik zaman kini, tetapi telah terjadi sejak manusia mengadakan kontak satu sama lain secara lisan maupun tertulis, dan sekarang kita melakukannya melalui media elektronik.
Peminjaman yang dimaksud Sapardi pada bab ini seperti contoh karya Shakespeare. Karya ini dibaca Jepang dan diciptakan kembali oleh seniman Jepang. Setelah diteliti, ternyata drama Shakespeare diambil dari khasanah sastra lain, dan sumber itupun ternyata pinjaman dari sastra lain pula. Contoh lainnya yaitu puisi haiku. Puisi haiku dipinjam oleh penyair-penyair.
Hal lain yang dibicarakan pada sub bab ini yaitu, bahwa tanpa meminjampun, sebuah karya bisa mirip dengan yang telah dihasilkan orang lain di tempat dan waktu yang lain pula. Hal ini biasanya dipengaruhi oleh situasi geografis. Kemiripan juga bisa terjadi sebagai akibat dari perkembangan masyarakat dan peristiwa besar seperti perang. Selain itu, kemiripan juga bisa disebabkan oleh kesamaan otak kita dalam merespon pengalaman yang jenisnya sama.
Nasib karya sastra di negeri lain juga merupakan pokok penelitian sastra bandingan. Karya yang di negeri asalnya tidak begitu penting, di negeri lain mungkin saja menimbulkan pengaruh yang melahirkan karya sastra besar.

5.      Terjemahan
Pada bab ini dibahas tentang terjemahan pada karya sastra. Ketika pada masa lampau meminjam dan kemudian mengembangkan aksara dari bangsa lain, langkah pertama yang dilakukan untuk mempraktekkan hasil pinjaman itu adalah menerjemahkan dari bahasa yang aksaranya kita pinjam. Demikianlah maka di Indonesia sastra tulis berkembang sejalan dengan aksara yang dipergunakannya.
Di awal abad ke-20 sejumlah karya sastra dari Eropa diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu dan beberapa bahasa daerah oleh penerbit pemerintah waktu itu, Balai Pustaka, dan beberapa penerbit swasta.
Dalam perkembangan itu tampak bahwa yang diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu waktu itu bukan hanya yang berasal dari Barta, tetapi juga dari mana saja, tergantung siapa yang melaksanakan kegiatan terjemahan itu.
Suatu jenis cerita rekaan yang kemudian berkembang sampai hari ini di Indonesia adalah cerita silat. Menurut Leo Suryadinata, pada mulanya cerita silat merupakan terjemahan novel sejarah Tiongkok. Kemudian, setelah banyak cerita silat bermunculan di koran-koran di Cina, penerjemahan dialihkan ke cerita silat itu. Perkembangan cerita silat di Indonesia erat kaitannya dengan penerbitan koran masyarakat keturunan Cina, bahkan pasa tahun 1930-an koran yang secara khusus memuat cerita silat terbit bulanan secara teratur.
Chairil Anwar adalah tokoh yang unik dalam sejarah sastra kita, ia dianggap pelopor suatu pembaruan sastra sekaligus dituduh penyair yang suka mencuri karya penyair asing. Salah satu sajak yang diterjemahkan Chairil Anwar adalah John Cornford, “Poem” yang dalam terjemahannya diberi judul “Huesca”.
Terjemahan sebenarnya merupakan tafsir bangsa tertentu di suatu zaman tertentu terhadap karya sastra milik bangsa lain di zaman lain pula. “Krawan Bekasi” boleh dianggap sebagai tafsir bangsa Indonesia zaman perjuangan fisik terhadap sajak MacLeish tentang perang dunia II. Jadi, dengan mengubah dirinya, karya sastra bisa menembus ruang dan waktu.
Terjemahan menyebabkan karya sastra bertahan hidup, karena diterjemahkan, karya sastra mengalami second existence, keberadaan atau kehidupan kedua (Gifford). Kegiatan penerjemahan sastra modern sudah dimulai sejak sebelum perang dunia II, terutama oleh Balai Pustaka, namun sebagian besar karya yang diterjemahkan boleh digolongkan ke dalam sastra populer atau anak-anak.

6.      Sastra Bandingan Nusantara
Pada bab ini, Sapardi membahas tentang sastra bandingan Nusantara. Ia mengatakan, Indonesia adalah salah satu negeri yang sangat kaya sebagai sumber penelitian sastra bandingan. Sastra sebagai bagian dari kebudayaan, ditentukan antara lain oleh geografi dan sumber daya alam. Berbagai dongeng yang diciptakan nenek moyang kita perlu dibanding-bandingkan agar kita bisa mendapat gambaran yang jelas tentang persamaan dan perbedaan di antara kita.
Legenda yang diciptakan oleh masyarakat Sangihe, yang berbasis kehidupan laut, tentu berbeda dengan dongeng yang muncul dalam kebudayaan Bali, yang tumbuh dalam kebudayaan agraris. Perbedaan semacam itu tetap ada di dalam sastra yang ditulis dalam bahasa Indonesia oleh sastrawan-sastrawan yang berasal dari berbagai daerah yang ciri-ciri geografisnya berbeda.
Dalam sastra bandingan, mantra merupakan sumber penelitian yang sangat subur, sebab genre itu kedapatan di manapun dan kapanpun, tidak hanya di Indonesia dan tidak hanya dalam tradisi lisan.

7.      Membandingkan Dongeng
Pada bab ini, Sapardi mengajak kita untuk membandingkan dongeng sebagai salah satu kajian sastra bandingan. Dalam sastra bandingan, salah satu kegiatan yang sudah banyak dilakukan adalah membandingkan dongeng yang mirip dari berbagai negara, tidak terutama untuk mengungkapkan yang asli dan pengaruhnya terhadap yang lain, tetapi lebih untuk mengetahui kaitan-kaitan antara perbedaan dan persamaan yang ada dan watak suatu masyarakat. Dongeng mencakup segala jenis kisah yang dalam pengertian Barat dipilah-pilah menjadi mitos, legenda, dan fabel.
Contohnya bisa dilihat pada legenda Sangkuriang, Oedipus, dan Babad Tanah Jawi. Tokoh utama pada kedua cerita ini adalah seorang lelaki yang membunuh ayahnya dan mengawini ibunya. Ini tampak dalam cerita Sangkuriang dan Oedipus, tetapi tidak tampak dalam Babad Tanah Jawi yang mengisahkan Prabu Watugunung. Dalam babad Jawa tidak ada indikasi siapa ayah Watugunung, meskipun dijelaskan bahwa permaisurinya adalah ibunya sendiri. identitas itu diketahui ibunya, tetapi tidak diketahui tokoh utama. Suatu hal yang sama dalam Sangkuriang tetapi tidak kedapatan dalam cerita Oedipus. Kemudian, status sosial tokoh-tokoh berbeda satu sama lain. Oedipus adalah putra raja yang kemudian jadi raja, sama halnya dengan Watugunung, tetapi tidak pada Sangkuriang. Sangkuriang bukanlah keturunan raja dan menjadi raja, bahkan ayahnya oun digambarkan sebagai seekor anjing. Akhir yang menimpa tokoh-tokoh dalam ketiga kisah itupun tidak sama. Watugunung akhirnya dikalahkan dan meninggal di tangan dewa, meskipun hidup kembali berkat usaha istrinya. Latar kisah-kisah itupun menunjukkan perbedaan yang jelas. Di Yunani klasik tokoh-tokohya tinggal di keraton manusia, di Jawa mereka tinggal di bumi sekaligus Suralaya, sedangkan di Sunda, Sangkuriang dan Dayang Sumbi lebih banyak tinggal di hutan, meskipun sebenarnya ada hubungan mereka dengan istana.
Dengan menggunakan pendekatan ini kita bisa memuat daftar perbedaan dan persamaan yang berkaitan dengan unsur-unsur formal kisah-kisah itu, yang kemudian bisa saja ditafsirkan secara obyektif atau dikaitkan dengan berbagai faktor sosial, politik, dan budaya yang mendasari penciptanya.

8.      Dalam Bayangan Tagore
Pada bab ini akan dijelaskan tentang bagaimana pandangan Tagore tentang sastra bandingan. Rabindranath Tagore adalah satrawan Asia pertama yang menerima hadiah Nobel untuk bidang kesusastraan pada tahun 1913, setahun setelah versi Inggris sajaknya yang berjudul Gitanjali diterbitkan. Penyair Benggali itu dikenal luas di kalangan sastrawan dan kaum intelektual kita segera sesudah ia menerima hadiah kesusastraan itu, puisinya itu diterjemahkan ke dalam sejumlah bahasa asing. Dalam banyak hal, ia menjadi panutan bagi sebagian penyair muda yang berkumpul di majalah Pujangga Baru pada tahun 1930-an.
Puisi Tagore adalah salah satu karya sastra yang telah membentuk minat banyak penyair muda terhadap kesusastraan. Konon, salah satu ciri keunggulan karya sastra adalah kemampuannya menerobos pembatas zaman, karya yang baik akan dihargai atau dihayati dari zaman ke zaman, di negerinya sendiri maupun di negeri asing.
Puncak minat terhadap gaya penulisan Tagore di Indonesia terjadi pada tahun1930-an dan 1940-an. Tagore telah menghasilkan lebih dari seribu sajak, hampir dua lusin naskah lakon, delapan novel, lebih dari delapan kumpulan cerpen, lebih dari dua ribu lagu yang lirik dan musiknya dia tulis sendiri, serta sejumlah besar karangan yang topiknya meliputi berbagai bidang. Belum lagi rangkaian acara ceramahnya di berbagai negeri di Asia, Eropa, dan Amerika. Itu semua masih harus ditambah dengan jadwal kegiatannya sebagai pendidik, pembaharu sosial dan agama, serta politisi. Itu semua dikerjakannya selama lebih darii 60 tahun.
Yang mempesona dari puisi Tagore adalah adanya taksaan atau ketegangan yang muncul karena kita bisa menafsirkan hubungan-hubungan yang diungkapkan puisi itu, baik antara Tuhan dan manusia, ataupun antara manusia dengan manusia.
Jejak teknik penulisan Tagore tampak dalam beberapa saja Takdir Alisjahbana, seorang budayawan dan sastrawan yang tak henti-hentinya menyuarakan niatnya untuk merayakan kebudayaan baru dengan lantang menyingkirkan segala sesuatu yang dianggapnya lama.
 Dari penggambaran ringkas itu, maka kita tahu bahwa studi mengenai seorang tokoh dengan menggunakan pendekatan sastra bandingan bisa menghasilkan berbagai jenis tinjauan mengenai jejak, kritik, penerimaan, dan masalah penerjemahan karya-karyanya.

9.      Jejak Romantisme dalam Sastra Indonesia
Pada bab ini, Sapardi menjelaskan bahwa gerakan romantik di Barat merambat dari satu negeri ke negeri lain, dan mendukung beberapa ciri, antara lain yang penting adalah penekanan pada pembebasan individu dari sikap sosial dan politik yang konvensional dan mengekang.
Rasa, seperti yang diagung-agungkan oleh para penyair kita pada tahun 1930-an adalah nilai penting juga dalam gerakan romantik di Eropa. Seiring dengan rasa, muncul kualitas lain, yakni sentimentalitas atau perhatian terhadap perasaan kecil yang bisa ditafsirkan sebagai kecengengan.
Seperti halnya romantisme Eropa, para penyair tahun 1930-1n di Indonesia memberikan perhatian besar terhadap golongan miskin yang menderita sebagai akibat situasi ekonomi yang merosot, yang dikenal sebagai malaise.
Dengan memperhatikan dan menguraikan perbedaan dan persamaan antara kecenderungan yang ada pada kesusastraan kita dan perkembangan dalam kesusastraan Eropa abad ke-17 dan ke-18 kita bisa mendapatkan gambaran dan pemahaman yang lebih jelas mengenai kebudayaan.

10.  Gatoloco: Kasus Peminjaman dan Pemanfaatan
Pada bab ini, Sapardi mengatakan bahwa dalam kesusastraan modern, ada kecenderungan untuk meminjam dan memanfaatkan segala sesuatu yang bersumber pada kasanah tradisi dan kitab klasik yang kuat.
Oleh sejumlah pengamat, kitab Gatoloco ini dianggap sebagai diskusi antara Islam dan kepercayaan Jawa. Itu sebabnya diklasifikasikan sebagai suluk. Yang menjadi pokok pembicaraan pada dasarnya adalah manunggalnya kawula dan Gusti, manusia dan Sang Pencipta, yang dalam kitab ini digambarkan sebagai masuknya lingga ke dalam yoni. Proses manunggal itu, meskipun menyakitkan, tetap dilakukan, sebab merupakan hakikat hubungan antara keduanya.

11.  Alih Wahana
Pada bab ini, Sapardi membahas tentang ahli wahana. Sapardi mengatakan bahwa, ahli wahana adalah perubahan dari satu jenis kesenian ke jenis kesenian lain. Selain dialihbahasakan dari bahasa asing ke bahasa Indonesia, karya sastra juga dialihwahanakan dari kesenian satu ke kesenian lain. Kegiatan di bidang penelitian ini akan menyadarkan kita bahwa sastra dapat bergerak ke sana- ke mari, berubah-ubah unsurnya agar bisa sesuai dengan wahananya yang baru.
Perbedaan yang sangat mendasar antara karya sastra dan film adalah dalam hal pengembangan imajinasi pembaca dan penonton. Karya sastra juga bisa diubah menjadi nyanyian dan lukisan, atau sebaliknya. Di Indonesia kita kenal istilah musikalisasi puisi, yakni usaha untuk mengubah puisi menjadi musik.
Sastra bandingan juga bisa meneliti hubungan antara anasir bunyi dan lagu. Kekayaan bunyi dalam puisi bisa dianalisis berdasarkan knsep-konsep yang ada dalam bidang seni musik, agar hubungan antara makna dan anasir bunyi dalam karya sastra bisa lebih dipahami.
Dalam sastra bandingan ada suatu prinsip penting yang menyatakan bahwa karya sastra yang sudah diterjemahkan atau disadur berubah statusnya menjadi bagian tak terpisahkan dari sastra bahasa sasaran dan bukan lagi menjadi milik sastra bahasa sumber.

12.  Penutup
Pada bagian ini, Sapardi menjelaskan tentang langkah-langkah apa saja yang sebaiknya diambil dalam melaksanakan pendekatan sastra bandingan. Sesuai dengan pendapat Clements tadi, bahwa ada 5 pendekatan yang bisa digunakan dalam penelitian sastra banding. Langkah pertama yaitu kita harus menentukan tema/mitos, kedua menentukan genre/ bentuk penceritaan,  ketiga yaitu gerakan zaman yang terdapat dalam cerita, kemudian kita harus paham bahwa sastra mempunyai hubungan dengan bidang seni dan disiplin lain. Dan yang terakhir yaitu, kita juga harus memahami konsep bahwa sastra sebagai bahan pengembangan teori.

































BAB III
PENUTUP

A.    Simpulan
Dengan membaca buku ini, saya jadi tahu bahwa sastra bandingan adalah pendekatan dalam ilmu sastra yang tidak menghasilkan teori tersendiri. Perbandingan sebenarnya merupakan salah satu metode yang dilaksanakan dalam penelitian. Dalam melaksanakan penelitian dengan pendekata sastra bandingan, kita harus membandingkan antara karya sastra yang satu dengan karya sastra yang lain, baik dari segi persamaan dan perbedaannya. Dalam membandingkan, langkah-langkah atau hal-hal yang sangat diperlukan yaitu kita harus menentukan tema/ mitos dalam cerita, harus menentukan genre/ bentuk penceritaan, harus tahu gerakan dan zaman yang terkandung dalam cerita, menentukan hubungan karya sastra dengan disiplin ilmu lain, dan paham konsep tentang pelibatan sastra dalam perkembangannya menjadi teori.

B.     Manfaat
Pembaca jadi mengetahui apa itu sastra bandingan, konsep dasar tentang sastra bandingan, apa saja yang mendasari pendekatan sastra bandingan, dan hal-hal atau langkah-langkah apa saja yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan penelitian dengan pendekatan sastra bandingan.

C.    Kritik
Buku ini sangat bagus untuk dibaca karena dapat menambah pengetahuan mengenai sastra bandingan. Dalam buku ini sudah dibahas dengan rinci dan jelas apa saja aspek-aspek yang diperlukan dalam penelitian sastra bandingan.



















Daftar Isi
Damono, Sapardi Djoko. 2005.Pegangan Penelitian Sastra Bandingan. Jakarta: Pusat Bahasa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar