Rabu, 07 Desember 2016

nilai ekstrinsik di dalam novel saman










1.      PENGARANG
Ayu Utami yang mempunyai nama lengkap Justina Ayu Utami  dikenal sebagai novelis pendobrak kemapanan, khususnya masalah seks dan agama. Ia dilahirkan di Bogor, Jawa Barat, 21 November 1968. Anak dari pasangan ayah bernama Johanes Hadi Sutaryo dan ibunya bernama Bernadeta Suhartina. Ayu utami berasal dari keluarga Katolik.
Ayu utami menempuh pendidikan terakhir Sastra Rusia dari Fakultas Sastra Universitas Indonesia (1994). Ia juga pernah sekolah Advanced Journalism, Thomson Foundation, Cardiff, UK (1995)  dan Asian Leadership Fellow Program, Tokyo, Japan (1999).  Ayu menggemari cerita petualangan,  seperti Lima Sekawan, Karl May, dan Tin Tin.  Selain itu,  ia  menyukai  musik tradisional dan musik klasik. Sewaktu mahasiswa, ia terpilih sebagai finalis gadis sampul majalah Femina, urutan kesepuluh. Namun, ia tidak menekuni dunia model.
Ayu pernah bekerja sebagai sekretaris di perusahaan yang memasok senjata dan bekerja di Hotel Arya Duta sebagai guest public relation. Akhirnya, ia masuk dalam dunia jurnalistik dan  bekerja sebagai wartawan Matra, Forum Keadilan, dan D & R.  Ketika menjadi wartawan, ia banyak mendapat kesempatan menulis. Selama 1991, ia aktif  menulis kolom mingguan “Sketsa” di harian Berita Buana. Ia ikut mendirikan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dan ikut membangun Komunitas Utan Kayu, sebuah pusat kegiatan seni, pemikiran, dan kebebasan informasi, sebagai kurator.  Ia anggota redaktur Jurnal Kalam dan peneliti di Institut Studi Arus Informasi.
Setelah tidak beraktivitas sebagai jurnalis, Ayu kemudian menulis novel. Novel pertama yang ditulisnya adalah  Saman (1998). Dari karyanya itu, Ayu menjadi perhatian banyak pembaca dan kritikus sastra karena novelnya dianggap sebagai novel pembaru dalam dunia sastra Indonesia. Melalui novel itu pula, ia memenangi Sayembara Mengarang Roman Dewan Kesenian Jakarta 1998. Novel tersebut mengalami cetak ulang lima kali dalam setahun. Para kritikus menyambutnya dengan baik karena novel Saman memberikan warna baru dalam sastra Indonesia. Karyanya yang berupa esai kerap dipublikasikan di Jurnal Kalam. Karyanya yang lain, Larung, yang merupakan dwilogi novelnya, Saman dan Larung, juga mendapat banyak perhatian dari pembaca.
2.      SENSITIVITAS

Tulisan Ayu banyak mengenai kehidupan sehari-hari yang sederhana, tetapi menekankan aspek keadilan dan hak-hak  masyarakat. Seperti yang tercermin dalam novel Saman. Novel ini pertama kali terbit April 1998, oleh penerbit Kepustakaan Populer Gramedia.

Tokoh problematik dalam novel Saman adalah tokoh yang bernama Saman. Saman ditentukan sebagai tokoh problematik karena Saman merupakan tokoh yang mempunyai masalah paling banyak dalam cerita dibandingkan dengan tokoh-tokoh lainnya. Melalui masalah-masalah tersebut pengarang memberikan solusi atas permasalahan yang sedang dihadapinya.

Masalah pertama yang dihadapi oleh Saman yaitu muncul ketika ia telah diangkat menjadi seorang pastor dan ia berkeinginan untuk ditugaskan di desa tempat masa kecilnya mengalami suatu perjalanan aneh yang tidak pernah ia ceritakan kepada siapa pun. Akan tetapi Saman takut kalau keinginannya tidak sesuai dengan keputusan yang diberikan oleh Uskup.

Hal ini dapat dilihat pada kutipan di bawah ini:
“Sesungguhnya, persoalan itulah yang ingin dibicarakan Wisanggeni. Dengan hati-hati ia ungkapkan keinginannya. Ia berharap ditugaskan di Perabumulih. Kenapa, tanya yang senior. Saya lulusan institut pertanian, jawabnya. Saya kira banyak yang bisa saya kerjakan di daerah perkebunan. Tetapi, kalau begitu Anda cocok ditugaskan di Siberut, pulau kecil di mana Gereja Katolik punya akar cukup besar di antara penduduk pedalaman yang nomaden, yang mayoritas hidup dari mengumpul panen alam tanpa bertani. Wis mencoba bertahan.” (Ayu Utami, 1998:42)

Novel Saman dikemas oleh pengarang sangat serius tapi santai, bercerita tentang bagaimana penindasan orang yang tinggal di Perabumulih. Melihat kekerasan yang dilakukan oleh aparat militer, Saman dan teman-temannya berusaha untuk melawan dan memprotes tindakan tersebut. Akan tetapi protes dan perlawanan yang dilakukan oleh Saman membuat dirinya ditangkap dan dimasukkan ke ruang penyekapan. Sedangkan Anson dan teman-temannya berhasil lolos dari kejaran aparat militer. Selama di ruang penyekapan Saman selalu disiksa untuk dimintai keterangan tentang keberadaan Anson dan teman-temannya. Saman sudah putus asa akan keadaan yang menimpanya. Dalam novel tersebut, usaha yang dilakukan oleh Saman ternyata hanya bisa menunda usaha penggusuran dusun selama beberapa bulan saja bahkan hampir setahun.
Melalui tokoh Saman pengarang ingin mengkritik pemerintahan Orde Baru yang sewenang-wenang terhadap rakyat, misalnya pada masa Orde Baru ini muncul konflik  persengketaan tanah dan kerusuhan yang terjadi di Medan. Peristiwa itu membawakan persoalan peka bagi masyarakat yaitu akan diubahnya kebun karet menjadi kebun kelapa sawit. Masyarakat tidak setuju akan perubahan itu, hal ini membuat oknum  penguasa Sei Kumbang melakukan tindakan yang sewenang-wenang yaitu memaksa penduduk untuk melepaskan tanahnya. Pemerintah dalam menanggapi protes dan perlawanan dari rakyat dengan menggunakan cara kekerasan yaitu adanya aksi-aksi aparat keamanan atau militer yang membela kepentingan Soeharto, yang semakin brutal dan tidak terkendalikan. Tuntutan itu dijawab dengan pentungan, gas air mata, aksi penangkapan ilegal, penculikan dan penyiksaan.
Tindakan sewenang-wenang yang dilakukan oleh aparat keamanan atau militer telah membuka hati para aktivis untuk mendirikan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Dengan adanya LSM ini, bukannya membawa keadaan semakin membaik, tetapi LSM dianggap sebagai gerakan kiri atau gerakan yang melawan pemerintah. Pada masa rezim Soeharto, LSM selalu diidentikkan sebagai “agen dan antek asing”, “penjual”, dan “pengkhianat bangsa”. Peryataan ini dilakukan untuk mengurangi keberadaan LSM di mata rakyat, mengingat LSM saat itu adalah satu-satunya elemen masyarakat yang kritis terhadap pemerintah Soeharto. Posisi LSM dan rezim Soeharto selalu dalam posisi berlawanan. LSM telah dituduh berpolitik dan mengorganisasikan rakyat miskin. Maka, wajar bila pemerintah selalu mencurigai aktivis LSM. Pemerintah juga melakukan tindakan pengejaran dan penangkapan terhadap aktivis-aktivis LSM.
3.      IMAJINASI
Di dalam novel Saman, pengarang Ayu utami memberikan gambaran tentang kehidupan wanita yang bebas. Bebas dalam artian tidak terikat akan norma kebudayaan, seperti halnya seorang wanita yang tidak dibenarkan berhubungan dengan pria yang tidak memiliki ikatan dengan dirinya. Tetapi, di dalam novel saman ini wanita di berikan kebebasan dan hak sepenuhnya atas tubuhnya sendiri.
Imajinasi pengarang tentang kehidupan yang dilalui para tokoh tak terlepas dari situasi yang ia lalui. Ayu utami menjelaskan bahwa wanita pada masa orde baru tidak bebas dan ia mengkritik keadaan itu dengankarya yang feminimisme ini.
Novel ini sangat menarik sekali, karena dalam novel ini terlihat jelas sekali bahwa imajinasi Ayu Utami dalam pembuatan novel ini sangat luar biasa. Ayu Utami menggabungkan dua dunia dalam novel ini, yaitu dunia modern yang dekat dengan pergaulan bebas dan tidak percaya tahayul, dengan dunia mistis yang berhubungan dengan makhluk halus, bahkan makhluk halus yang mampu berkomunikasi dan menolong manusia. Dalam novel ini Ayu Utami juga mengangkat cerita dua agama, yaitu Islam dan Katolik.

4.      INTELEKTUAL
Di dalam novel saman Ayu begitu intelek, dalam hal memberikan pandangan serta pengetahuan kepada para  pembaca. Ia begitu pandai dalam menggambarkan kekerasan, ketidakadilan, dan juga dilema yang di alami para wanita.
Nuansa politik yang berhubungan dengan negara dengan mengritik kinerja aparat Orde Baru yang kurang becus dalam mengurus masyarakatnya, meskipun penggambarannya tidak secara terang terangan, namun duduk persoalan dalam novel ini sebenarnya mengandung persoalan politik dan kekuasaan. Yang ditunjukan denagn jelas dalam kasus perusahaan perkebunan karet. Dimana para aparat mengklaim tanah- tanah penduduk Lubukrantau sebagai tanah perusahaan. Demi membenarkan tindakan itu, para aparat menunjukan surat pengantar dari bapak Gubernur.

5.      PANDANGAN HIDUP
Pandangan hidup Ayu utami dengan penggambaran bahwa pada saat novel ini ditulis  orang bisa masuk penjara lantaran mengkritik  pemerintahan. Serta sebagai pendobrak hal – hal tabuh yang terjadi seperti, hubungan antara pria dan wanita yang terjadi tanpa ikatan.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar